2013/05/31
PERAN PENDIDIKAN DALAM WAJAH POLITIK DI INDONESIA
Pendidikan adalah suatu hal yang sangat urgen di
zaman sekarang, yang dimana seperti apa yang dicetuskan oleh UU Sisdiknas : “pendidikan
adalah sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar, dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, alat mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya masyarakat
bangsa dan Negara”. Dari uraian di atas dapat di simpulkan betapa pentingnya
pendidikan bagi rakyat sekarang, karena selain mencerdaskan bangsa, pendidikan
juga berfungsi untuk membentengi bangsa dari arus imperialisme dan membangun
rasa nasionalis, akan tetapi jika kita melihat ke realitas sosial sekarang dimana kita dihadapkan dengan berbagai macam
masalah yang membuat sebagian masyarakat dan kaum intelektual mengusap dada, sebenarnya
apa yang terjadi, apa yang membuat bangsa ini begitu terpuruk, mengapa semakin
banyak siswa, mahasiswa, masyarakat yang apatis terhadap realitas social,
kehilangan jati diri, bahkan akhir – akhir ini rakyat Indonesia di gemparkan
dengan semakin maraknya kasus korupsi, dan yang lebih menyedihkan tindakan pidana
tersebut dilakukan oleh oknum – oknum dengan tingkat pendidikan yang tinggi, masalah
ini dipertegas dengan pernyataan darmaningtyas “ pendidikan sudah kehilangan
ruh – ruhnya ” seakan – akan pendidikan sekarang sudah kehilangan fungsi ideologisasi yang baik
untuk masyarakat, yang dimana kita semua tahu bahwa jika pendidikan kehilangan
ideologinya, maka yang terjadi adalah disorientasi dalam membangun masyarakat.
Dewasa ini seharusnya kita harus menyadari adanya
ketidaktepatan pengambilan kebijakan pemerintah dalam menetapkan standarisasi
kelulusan bagi siswa, selain karena banyak dampak buruknya bagi siswa dan masa
depan bangsa, seperti adanya kasus bunuh diri akibat dari tidak lulusnya sang
siswa, menjadikan kecurangan itu suatu hal yang halal di lakukan (secara tidak
langsung mengajari peserta didik) selain dari berbagai alasan di atas,
standarisasi ini juga tidak bisa dijadikan alat ukur dalam kemampuan dan keberhasilan
sekolah dari mendidik siswa dan siswinya selama belajar, karena sudah bukan
rahasia umum lagi jika saat mendekati UN maka akan terjadi berbagai kesibukan
negatif yang dilakukan pihak sekolah maupun dari pihak siswa, contohnya ada
siswa atau siswi yang mendatangi seorang dukun untuk meminta supaya lulus,
pihak sekolah yang membocorkan jawaban UN sehari sebelumnya atau di saat ujian,
dan kurang masuk akalnya jika hasil kerja keras selama 3 tahun atau lebih hanya
di tentukan dalam kurun waktu seminggu, apalagi jika sampai di samakannya bobot
soal, karena yang menjadi korban kelak bukan siswa atau siswi yang sekolah di
kota, melainkan siswa atau siswi yang sekolahnya berada jauh di pedalaman
dengan berbagai keterbatasnya dan selain itu masih belum tepatnya kebijakan
pemerintah dalam hal alokasi anggaran yang di turunkan, pemerintah hanya focus
pada fasilitas (Bantuan Operasional Sekolah) seperti gedung, dan alat belajar
mengajar, tapi apakah pemerintah pernah focus untuk memperbaiki kualitas
pengajar, dan kurikulum yang berbasis kekeritisan, nasionalis dan keaktifan
peserta didik.
Mungkin ada yang bertanya apa peran pendidikan dalam
wajah politik di Indonesia, sebelumnya saya akan jelaskan apa itu politik, jadi
politik menurut menurut Miriam budiardjo adalah “ilmu yang mempelajari politik,
politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik”, sedangkan menurut Andrew
Heywood : “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang betujuan untuk membuat,
mempertahankan dan mengamandemen peraturan – peraturan umum yang mengartur
kehidupannya” dari teori di atas sudah muncul pertanyaan, apakah mungkin suatu
bangsa akan bisa membuat dan mengamandemen peraturannya untuk mengatur
kehidupannya menjadi lebih baik,
jika yang membuat peraturan tersebut tidak memiliki pendidikan yang tinggi,
sedangkan dengan pendidikan yang tinggi saja masih banyak terjadi kejahatan
lewat sifat ingin memperkaya diri sendiri (korupsi) yang sudah jelas, jika hal ini terjadi yang paling sangat
dirugikan adalah masyarakat sendiri, contohnya adanya bangunan sekolah yang
rubuh hanya dalam beberapa tahun masa pakai, fasilitas umum yang tidak bisa
dinikmati secara maksimum oleh masyarakat, ini adalah sedikit contoh dari peran
pendidikan dalam wajah politik di indonesia, oleh karena itu ini adalah salah
satu peran dan tanggung jawab pemerintah apalagi pendidikan sejatinya sudah ada
dalam UUD 1945 “Mencerdaskan kehidupan bangsa” .
Seperti yang di uraikan di atas, betapa kompleksnya
ranah pendidikan saat ini, dengan berbagai macam permasalahan yang harusnya
jika memang pemerintah peka terhadap perkembangan siswa sekarang, maka paling
tidak ini akan membuat pemerintah sadar akan beberapa kekeliruannya, hingga
membuat pemerintah mencari atau menggunakan metode pendidikan yang tepat, untuk
menjawab tantangan zaman dan membangun jiwa jiwa yang kritis terhadap realitas
social, dan lepas dari dogma – dogma yang membodohi siswa sendiri, disini saya
akan sedikit uraikan bagaimana mewujudkan pendidikan yang akan membangun jiwa –
jiwa kritis, nasionalis, dan keaktifan, tanpa mengesampingkan agama sebagai
pijakan atau pedoman hidup bagi rakyat Indonesia sendiri.
Sejatinya
pendidikan saat ini, sudah jauh melenceng dari cita – cita bapak proklamator
kita sendiri, yaitu sebagai alat untuk membentengi bangsa dari arus
imperialisme, dan membangun rasa cinta tanah air, lihat saja saat kasus
pengklaiman reog ponorogo, angklung dan batik, sekiranya ini adalah bukti dari
keterlenanaan bangsa ini terhadap warisan budaya sendiri, anak muda sekarang
justru sibuk dengan budaya – budaya luar negeri yang berhasil di propagandakan
lewat media massa, dan teknologi, bukannya terlalu fanatik dan ingin langsung
menutupi diri dari pengaruh luar, tapi bukankah kita mempunyai filter, mana
yang baik dan buruk, mempelajari budaya orang boleh, tapi tidak sepantasnya
bagi kita untuk langsung meninggalkan budaya sendiri.
Sebaiknya
kita harus kembali mengenang kembali kalimat Soekarno “Jangan sekali – kali
melupakan sejarah
(Jasmerah)”, ya sepertinya
itu ungkapan yang tepat untuk bisa memberikan kita sedikit kecerahan, membuat
kita sedikit flashback ke sejarah sebelum terbentuknya Indonesia, saat seorang
tokoh terkenal lahir di tanah Panda Gadang, Kecamatan Suliki, kabupaten
Limopuluh Koto, payakumbuh, Sumatera Barat. Ya dialah Tan Malaka seorang tokoh
Marxis Indonesia dan juga muslim yang taat yang tentunya tidak totalitas Marxis
karena dia meletakkan Marxisme sebagai sebuah praksis revolusioner melawan
imperialisme, bukan sebagai alat menyerang agama, karena Tan Malaka dalam
Madilognya menyadari bahwa Indonesia mayoritas masyarakatnya adalah muslim,
untuk itu Tan Malaka mengkontekstualisasikan Marxisme ke dalam kondisi Indonesia saat ini, bahkan dengan sangat tegas Tan Malaka Mengatakan :
Menelan
saja semua putusan yang di ambil pemikir revolusi di Russia tahun 1917 ataupun
oleh Marx pada pertengahan abad ke 19 dan melaksanakan keputusan Marx dan
Lennin di tempat dan pada tempo berlainan itu di Indonesia ini dengan tiada
mengupas, menguji, dan menimbang keadaan di Indonesia sendiri, berarti
membebek, membeo, meniru – niru. Marxisme bukannya kaji hafalan “dogma,
melainkan petunjuk untuk aksi revolusioner”. Semua bukti revolusi Indonesia dan
kesimpulan yang menentukan siasat revolusi Indonesia mesti di timbang
sendirinya satu per satu menurut nilainya masing – masing.
Dari apa yang di jelaskan di atas, secara
kontekstual Tan Malaka bukanlah seorang pemikir marxis konservatif yang berbahaya,
seperti apa yang di gembar - gemborkan oleh orde baru saat itu, dengan melarang
pemikiran dan buku – buku Tan Malaka yang di anggap Marxis, secara implisit
menurut Tan Malaka pendidikan memiliki dua fungsi. Yang pertama sebagai instrument
menumbuhkan kesadaran sosial, selain meningkatkan kesadaran kognitif,
pendidikan idealnya mendekatkan manusia pada dimensi realitas yang kemudian
direfleksikan secara kritis dan melahirkan kesadaran sosial, Marx berkata
“Keadilan sosial menentukan kesadaran sosial”, yang kedua sebagai instrument
transformasi, pen didikan idealnya
menjadi transformasi manusia menuju suatu perubahan yang lebih baik lagi.
Realitas social tidak hanya di terjemahkan secara kognitif, tetapi sebagai
bentuk aksi. Sebab, pendidikan bukan semata memproduksi pengetahuan ini juga
sejalan dengan pemikiran Paulo freire yaitu “proses pendidikan membangkitkan kesadaran dalam diri manusia
sebagai subjek aktif sehingga dapat memainkan peranannya di dunia realitas
(mazhab pendidikan kritis)”.
Namun hal yang harus di ingat tujuan
pendidikan Tan Malaka bukan semata – mata melakukan praktik doktrinisasi
ideology Marxisme, melainkan sebagai instrument untuk bagaimana bangsa
Indonesia dapat mempertahankan haknya untuk melawan praktik Imperialisme dan
Kapitalisme yang hakikatnya sudah terjadi di Indonesia, seperti lebih
mementingkan kognitif siswa siswi dengan cara pemberian tugas sekolah (dimensi
makro), yang ternyata hal ini membuat peserta didik tercabut dari akar
realitasnya, adanya dikotomi – dikotomi pendidikan seperti sekolah favorite dan
sekolah non favorite (kapitalisme pendidikan), hal ini berbeda jauh dari apa
yang di harapkan dari bapak pendidikan indonesia dengan mazhab kritisnya, yang
sangat menentang pendidikan kontemporer yang kapitalis, bagi Tan Malaka
“pendidikan tidak cukup memberikan modal hidup saja. Pendidikan khususnya
sekolah bukanlah menciptakan penjara bagi kita sendiri”. Dampak lebih jauh jika
model pendidikan seperti itu di lanjutkan maka pendidikan hanya akan melahirkan
manusia – manusia individualis.
Dan
di dalam dimensi mikro yaitu praktik pembelajaran, Tan Malaka mempunyai suatu
terobosan baru yang revolusioner yaitu dengan menganalisis faktor – faktor
lingkungan, kesiapan belajar, signifikasi pendidikan bagi individu, prosedur
pembelajaran, teknik pembelajaran yang tepat, dan pengaruh pembelajaran secara
psikologis maupun sosiologis bagi peserta didik, dengan mengetahui semua itu di
harapkan guru dan sekolah dapat menyesuaikan proses belajar dan mengajar, bagi
Tan malaka sendiri peserta didik adalah manusia yang berfikir dan memiliki
potensi melakukan perubahan social, oleh karena itu pendidikan sepatutnya
mengasah proses berfikir peserta didik agar berfikir kritis transformatife, dan
dapat memahami realitas social sekarang, seyogyanya proses belajar dan mengajar
haruslah bersifat sosialistis, empatif, stimulatif, motivatif, demokratis dan
progresif, agar terciptanya kondisi belajar yang nyaman dan mempunyai manfaat
yang besar terhadap peserta didik, seorang guru tidaklah selalu aktif dan
mendominasi kelas, melainkan peserta didiklah yang mendominasi dan aktif di
kelas, guru hanya instrument penengah dan sebagai stimulatif bagi peserta
didik.
Menurut
Tan Malaka sendiri, ada empat kategori utama dalam proses pembelajaran yang
dulu sempat di terapkan. Pertama.
Metode dialogis, yaitu metode pembelajaran melalui penuturan lisan secara
langsung bagi peserta didik, agar tercipta suasanya yang komunikatif, dan tidak
membosankan, karena dalam metode dialogis, sifat pembelajaran di lakukan dalam
model dua arah (guru dan peserta didik aktif) bukan seperti ceramah, yang
bersifat satu arah, yang menurut Tan Malaka sendiri tidak akan membuat peserta
didik cerdas, justru sebaliknya membuat peserta didik menjadi bodoh. Kedua. Metode “Jembatan keledai”, yaitu
metode yang menekankan proses berfikir dan pemahaman, bukan menekankan hafalan,
karena hafal belum tentu paham, tapu paham sudah pasti hafal, selain itu dalam
konsep tersebut berlaku “guru tidak membatasi peserta didiknya melaikan lebih
sebagai fasilitator dan peserta didik menjadi subjek yang aktif” jembatan
keledai berarti proses memerdekakan peserta didik dari dogma – dogma pdan
keformalan proses dialog. Ketiga. Metode
diskusi kritis, yaitu suatu metode yang pada proses pembelajarannya peserta
didik di hadapi suatu masalah dan mencari pemecahannya lewat diskusi, lewat
diskusi kritis inilah di harapkan peserta didik menemukan kepercayaan dirinya
untuk berani mengungkapkan pendapat. Dan terakhir. Keempat. Metode sosiodrama, yaitu suatu metode dengan pembelajaran
bermain peran guna memberikan pemahaman dan penghayatan peserta didik terhadap
masalah – masalah social, dan memecahkan masalah, selain itu dengan sosiodrama
di harapkan akan terciptanya relasi yang baik antara guru dengan peserta didik,
hingga tidak menimbulkan kecanggungan pada saat berada di kelas.
Dari
pembahasan di atas dapat kita simpulkan betapa besarnya pengaruh pendidikan
bagi suatu bangsa dan peradaban, lihat saja orang – orang filosofis yang
mengungkapkan berbagai macam teori yang berhasil merubah wajah dunia, seperti
Hegel, Marx, Paulo Freire, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, dan lain – lainnya
merupakan salah satu contoh, pentingnya sebuah pendidikan yang lepas dari dogma
– dogma dan juga dari pendidikan subjektif, penjelasan saya dari refleksi kita
tentang sejarah, realitas dan dimensi makro dan mikro tadi, saya harap bisa sedikit
membuka mata pembaca, dan tidak memandang buruk seorang patriot Marxis
Indonesia, karena konsep pendidikan yang di gagasnya bukanlah suatu hal yang
buruk, melainkan sebuah konsep revolusioner yang dapat membuat wajah politik,
social masyarakat Indonesia berubah, dan juga sebagai bahan renungan kita dan
pemerintah untuk kembali mengkaji pemikiran Tan Malaka, dan pemikiran –
pemikiran Marxis, karena saya rasa hancur dan dianggap tabunya ideologi Marxis
karena adanya benturan ideologi dan kepentingan yang terjadi baik di dalam dan
di luar Indonesia dari awal perang dunia ke dua hingga sekarang, paling tidak
konsep di atas dapat memberikan kita sebuah pencerahan bagi kita semua berkaitan
dengan peran pendidikan dalam wajah politik di Indonesia.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Syaifudin, Tan Malaka. Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012.
F, Danuwinata, Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta :
Pustaka LP3ES
Soyomukti, Nurani, Metode Pendidikan Marxis Sosialis.
Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012.
Langganan:
Postingan (Atom)